SEJARAH SINGKAT
KOMIDA (Koperasi Mitra Dhu'afa) sejak bulan
Agustus 2005, memulai program Sistem Grameen bank di Aceh khususnya
untuk korban tsunami. Para pendiri KOMIDA sendiri sudah berpengalaman
dalam program Grameen bank sejak 1997.
Pada awalnya, KOMIDA memulai program replikasi Grameen Bank dengan
badan hukum Yayasan melalui YAYASAN MITRA DHUAFA (YAMIDA). YAMIDA
sendiri berdiri sejak pertengahan 2004 dengan tujuan membangun LKM di
Indonesia yang besar, profesional dan berkelanjutan. Kegiatan pertama
adalah dengan melakukan pelatihan kepada LKM di beberawa wilayah.
Selanjutnya, karena Yayasan tidak boleh mempunyai program simpan pinjam,
oleh karena itu KOMIDA memilih badan Hukum KOPERASI yang bersifat
nasional sejak tahun 2008.
Sekitar pertengahan Agustus 2005 KOMIDA mulai beroperasi di NAD
dengan kapasitas yang begitu terbatas, dan untuk pertama kalinya pula
sistem Grameen Bank ini diperkenalkan di wilayah NAD. Kondisi Aceh pasca
Tsunami sangat bergelimpangan bantuan dari berbagai pihak sehingga
membuat KOMIDA sangat perlu berhati-hati dalam memberikan pemahaman
tentang seperti apa sistem yang akan diterapkan dalam mendampingi
mereka nantinya, karena yang akan diberikan itu Pinjaman bukan bantuan
cuma-cuma. Pada tahap awal kegiatan KOMIDA dimulai di Kecamatan
Baitusalam tepatnya didesa Miruk Lamreudeup diawali dengan mengadakan
pertemuan umum di sebuah meunasah sederhana. Dengan mengundang beberapa
para pemuka masyarakat, kepala kampung, serta seluruh masyarakat baik
itu kaum perempuan maupun laki-laki. Pada saat itu pula di jelaskan
secara umum tentang seperti apa kegiatan KOMIDA. Dengan anggota yang
kami dapat untuk pertama kalinya berjumlah 15 orang dan semuanya harus
kaum perempuan. Kenapa kami pilih kaum perempuan, karena kami melihat
begitu banyak kaum perempuan yang memiliki potensi secara langsung dapat
membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi keluarganya, dan kami juga
melihat sangat terbatasnya akses untuk perempuan dalam mendapatkan
pelayanan dibidang mikro kredit terutama pada bank-bank konvensional dan
lembaga keuangan lainnya.
VISI DAN MISI
KOMIDA sebagai leader Lembaga Keuangan Mikro yang mampu melayani kebutuhan modal usaha perempuan berpendapatan rendah sebanyak 500.000 di Indonesia.
Misi
1. Melakukan pelayanan melalui kredit kepada perempuan berpendapatan rendah dengan menggunakan best practice model dan prinsip transparan, profesional dan berkelanjutan.
2. Memberikan motivasi kepada kelompok masyarakat perempuan berpendapatan rendah dalam berbagai kepentingan dalam rangka untuk meningkatkan keberdayaannya.
STRUKTUR ORGANISASI
STRUKTUR PENGURUS
Dewan Pengawas
1. Sugeng Priyono
2. Lucyanna Pandjaitan
3. Cacih M
Dewan Penasihat :
1. Laksmi Djuwita
2. Nining I Soesilo
3. Dedeh
Dewan Pengurus :
1. Slamet Riyadi (Ketua)
2. Elin Halimah (Bendahara)
3. Sri Hardono (Sekretaris)
PROGRAM TRAINING
a. Grameen Basic Training
b. Cost Efective Targetting
c. Accounting system
d Financial Management
e. Credit Dicipline/Loan Quality
f. Financial Analysis
g. Risk Management
h. Business Planning
i. Deliquency Management
j. Management Information System
k. Internal Audit.
GRAMEEN BANK
System Grameen bank adalah salah satu sistem mikro
kredit yang diciptakan oleh Mohammad Yunus tahun 1976 dengan pendekatan
yang ramah dengan orang miskin. Sistem ini berdasarkan
ide bahwa orang miskin memiliki kemampuan yang kurang digunakan. Yang
berbeda dari kredit ini adalah pinjaman diberikan kepada kelompok
perempuan produktif yang masih berada dalam status sosial miskin. Pola
Grameen bank ini telah diadopsi oleh hampir 130 negara didunia
(kebanyakan dinegara Asia dan Afrika). Jika diterapkan dengan
konsisten, pola Grameen Bank ini dapat mencapai tujuan untuk membantu
perekonomian masyarakat miskin melalui perempuan. Pada tahun 2006, Prof. Muhammad Yunus menerima penghargaan Nobel perdamaian.
- Sejarah Berdirinya Bank Grameen
Tahun 1974 merupakan tahun yang harus dihadapi dengan berat oleh
Bangladesh, sebab pada tahun ini Bangladesh masuk kedalam cengkraman
kelaparan. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan, sebab sebuah negara
kecil yang baru meraih kemerdekaannya disertai perekonomian dan
perpolitikan yang belum stabil harus mengadapi kelaparan yang
mengakibatkan banyak sekali warganya yang meninggal.
Muhammad Yunus, Seorang dosen Universitas Chittagong serta Dekan
Fakultas Ekonomi ini sangat risau melihat keadaan tersebut. Saat bencana
kelaparan di tahun 1974 sedang melanda Bangladesh, Yunus berpandangan
bahwa selama ini segala macam teori ekonomi klasik maupun modern yang
secara elegan di ajarkan di kampus tidak bisa menjawab permasalahan
sosial di negaranya, tidak hanya kelaparan namun juga kemiskinan dan
permasalahan sosial ekonomi lainnya.
Melihat keadaan yang semakin parah, Yunus memutuskan untuk terjun
langsung ke lapangan untuk melihat kondisi riil masyarakat yang
mengalami kelaparan dan kemiskinan. Desa jobra adalah obyek yang menjadi
pusat observasi, sebab daerah tersebut dekat dengan kampus. Proyek
awal yang dilakukan Yunus adalah mencari tahu berapa banyak keluarga di
desa jobra yang memiliki lahan garapan dan tanaman yang bisa di garap,
keterampilan yang dimiliki penduduk desa, hambatan yang dihadapi dalam
peningkatkan kesejahteraan mereka, dan berapa banyak warga yang
miskin. Setelah melakukan analisis sebab-akibat, Yunus kemudian
melakukan studi tentang ekonomi pertanian yang kemudian dilanjutkan
dengan pengembangan desa melalui sektor pertanian.
Pengembangan desa yang dilakukan oleh Profesor Muhammad Yunus tidak
berhenti pada sektor pertanian saja. Setelah menuai hasil yang positif,
pada tahun 1976 Yunus mulai mengunjungi rumah tangga yang paling miskin
di Jobra. Kunjungan tersebut melahirkan suatu insiprasi baru ketika
Yunus menemui salah satu perajin bangku di Desa Jobra. Hasil
perbincangan Yunus kepada perajin tersebut membuahkan kesimpulan bahwa
rata-rata warga miskin yang memiliki profesi sebagai pengusaha kecil
sangat sulit memperoleh kredit dan bahkan terpaksa meminjam uang kepada
rentenir yang tentunya akan memberikan bunga pinjaman yang tinggi
sehingga sangat memberatkan si debitur, apalagi debitur merupakan warga
miskin.
Dari tahun ke tahun, pengembangan desa terus menerus dilakukan. Yunus
kemudian membuat suatu proyek percontohan awal yang disebut sebagai
Bank Grameen. Proyek ini dibentuk dengan alasan bahwa bank konvensional
dan koperasi kredit biasanya meminta pembayaran sekaligus. Hal ini
tentunya secara psikologis dirasa sulit oleh peminjam, apalagi yang
predikatnya tergolong kaum miskin. Sistem yang dikembangkan oleh Bank
Grameen justru berlawanan dengan bank konvensional. Para nasabah yang
menjadi anggota dapat mencicil pembayaran dengan nilai nomonal uang yang
sedemikian kecil sehingga tidak memberatkan si peminjam. Selain itu,
nasabah didorong untuk membiasakan diri dalam menabung. Sebab, tabungan
terkumpul bisa mereka jadikan pegangan di waktu susah atau digunakan
untuk menambah peluang-peluang peningkatan pendapatan. Pada saat itu,
Bank Grameen menetapkan 5 persen dari setiap pinjaman menjadi tabungan.
Pinjaman dilakukan tidak melalui perseorangan melainkan kelompok.
Setelah mengalami kemajuan yang sangat pesat, Bank Grameen mulai
membuka cabang di setiap pedasaan di Bangladesh. Kinerja bank juga
semakin ditingkatkan. Bank Grameen tidak hanya sekedar emberikan
pinjaman yang mudah dijangkau warga miskin, namun juga memberikan
pelatihan kepada para peminjam dalam memajukan usahanya.
Periode 90-an, Bank Grameen sudah memperlihatkan bagaimana sistem itu
efektif bekerja. Para peminjam yang dulunya tergolong miskin, sekarang
tidak lagi sekedar melewati garis kemiskinan, namun juga sudah
meninggalkannya jauh di belakang. Salah seorang peminjam yang pernah
bertenmu langsung dengan Profesor Yunus mengungkapkan bahwa cicilan per
minggunya lebih dari 500 taka (US$ 12). 500 taka yang dipinjamnya itu
adalah nilai pinjaman pertamanya saat sepuluh tahun yang lalu. Ini
berarti bahwa kapasitas mereka untuk meminjam, berinvestasi dan membayar
kembali melipat hingga 50 kali dalam 10 tahun. Bank Grameen juga
mendirikan sebuah museum yang disebut sebagai Museum Kemiskinan sebagai
simbol bahwa kinerja bank selama ini sangat efektif memberantas
kemiskinan.
Bank Grameen saat ini telah diadopsi oleh lebih dari 100 negara di
dunia. Sebagai bentuk penghargaan karena telah berhasil menuntaskan
kemiskinan, founding father-nya yakni Profesor Muhammad Yunus memperoleh penghargaan Nobel Perdamaian tahun 2006.
- Peranan Bank Grameen dalam Memberantas kemiskinan di Bangladesh
Bank Grameen memiliki peranan besar bagi rakyat kecil. Sistem
perbankan yang digunakannya nyaris bertolakbelakang dengan yang
digunakan oleh bank konvensional. Kenyataannya sampai hari ini bahwa
bank konvensional semakin tidak pro pada rakyat. Banyak sekali bank
konvensional yang hanya mau mendanai proyek-proyek yang menghasilkan
profit besar. Bahkan, mereka juga mempersulit kaum miskin dengan suku
bunga pinjaman yang tidak terjangkau dan agunan. Padahal kaum miskin
tidak memiliki uang cukup untuk mengembalikan bunga dan mereka juga
tidak memiliki agunan. Begitu juga dengan kaum rentenir. Secara
prosedural, kaum miskin relatif lebih mudah meminjam uang kepada mereka,
tapi bunga pinjamannya sangat tinggi bahkan lebih tinggi dibanding
bunga bank konvensional. Baik bank konvensional maupun rentenir saat ini
merupakan representasi dari kapitalisme modern dan juga feodalisme,
dimana yang miskin semakin miskin, sedangkan yang kaya semakin kaya.
Kemiskinan di Bangladesh merupakan persoalan utama. Namun, hadirnya
Bank Grameen yang didirikan oleh Muhammad Yunus memberikan suatu peranan
besar dalam menjawab solusi kemiskinan yang telah mengakar di
Bangladesh selama bertahun-tahun. Bank Grameen tidak hanya memberikan
solusi dalam segi finansial kaum miskin, namun juga merubah kebudayaan
kolot warga setempat, dimana wanita hanya boleh di dalam rumah dan tidak
diperkenankan untuk melakukan aktivitas ekonomi di luar rumah. Dengan
hadirnya Bank Grameen, meski wanita tidak diperkenankan melakukan
aktivitas ekonomi di luar rumah, namun dengan berbagai solusi, wanita
dapat bekerja meski di dalam rumah. Bank Grameen juga merupakan suatu
wujud implementasi dari konsistensinya. Sebagai bank kaum miskin, Bank
Grameen tidak muncul dalam wujud lembaga keuangan eksklusif sebagaimana
bank konvensional lainnya, melainkan menjelma sebagai lembaga yang
berada di lingkungan miskin secara riil. Salah satu contoh konkret yang
terjadi di Bangladesh adalah code of conduct dalam sistem di Bank Grameen tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manajer ketika membuka cabang di suatu daerah.
Sebagai contoh, seorang manajer datang ke suatu tempat yang telah
disepakati untuk didirikan cabang tanpa perkenalan formal. Mereka tidak
punya kantor, tidak punya tempat tinggal, dan tak ada seorang pun yang
mereka kenal. Tugas pertamanya adalah mendokumentasikan segala sesuatu
mengenai wilayah itu. Mereka memang tidak boleh datang ke desa dengan
gaya pejabat dengan kemegahan dan mengharapkan hidangan lezat dan
kenyamanan. Manajer dan asistennya tersebut harus membayar sendiri
penginapannya dan tidak diizinkan untuk menginap di lingkungan mewah.
Mereka hanya boleh menginap di rumah terlantar, asrama sekolah, atau
kantor dewan setempat. Mereka harus menolak tawaran makan dari warga
desa yang berada dengan menjelaskan bahwa itu bertentangan dengan aturan
Grameen. Hal ini mengindikasikan bahwa suatu lembaga yang punya
orientasi pada kaum miskin memang harus hidup dengan cara yang serba
miskin.
Oleh sebab itu, Bank Grameen dinyatakan berhasil menuntaskan
kemiskinan, sebab Bank Grameen dalam menjalankan misinya tidak hanya
berfokus dalam melakukan kredit seperti yang dilakukan oleh bank
konvensional pada umumnya, tetapi lebih daripada itu, Bank Grameen
“menjelma” menjadi kaum miskin itu sendiri, karena dengan cara itulah
Bank Grameen dapat mengetahui secara utuh tentang segala aspek penyebab
kemiskinan dan solusi yang tepat dalam melakukan cut terhadap penyebab kemiskinan di Bangladesh.
SUMBER :
http://www.mitradhuafa.com/