Salah satu
kendala pelayanan publik pada jenjang pendidikan dasar adalah masalah penataan
institusi pendidikan yang terkait dengan pendidikan dasar. Berdasarkan laporan
Bank Dunia ada beberapa kendala institusional dalam pembangunan pendidikan
dasar di Indonesia.
Hal tersebut
dapat disebabkan karena institusi pemerintah yang mengelola pendidikan dasar
masih belum terkoordinasi dengan baik, yaitu antara Depdiknas, Depdagri, dan
Depag. Sehingga masih belum mampu memecahkan permasalahan pendidikan terutama
pada pendidikan dasar. Dari permasalahan tersebut upaya untuk meningkatkan mutu
pendidikan di Sekolah Dasar tidak dapat dilakukan dengan bekerjasama antara
satu instansi dengan instansi lain. Keadaan ini terus berlangsung bahkan
dilanggengkan dalam PP No. 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar. Pasal 9 PP
tersebut ternyata tetap melanjutkan jiwa PP No 65 Tahun 1951 yang memisahkan
tanggung jawab penyelenggara Sekolah Dasar kepada Depdagri dan Depdikbud.
Pada tingkat
Sekolah Dasar pemisahan antara fungsi teknis pendidikan di bawah naungan
Depdiknas dan fungsi administrasi pendidikan di bawah Pemda setempat
menunjukkan adanya dualisme dalam penyelenggaraan Sekolah Dasar yang sangat
tidak praktis dan efisien, karena sering terbentur oleh perbedaan kepentingan
antar instansi yang diwarnai dengan keinginan yang berlebihan untuk mengambil
peranan manajerial dan tanggung jawab atas sekolah-sekolah. Adanya dualisme
manajemen pendidikan dasar tersebut dikarenakan tidak adanya keterpaduan antara
pembinaan teknis dengan pengelolaan Sekolah Dasar. Dengan demikian dapat
dipastikan bahwa yang dirugikan dalam kerancuan pengelolaan ini ialah mutu
pendidikan Sekolah Dasar, sehingga mutu pendidikan di Sekolah Dasar sulit untuk
ditingkatkan. Sistem pengelolaan pendidikan akan sangat menentukan efektif atau
tidaknya kurikulum, berbagai peralatan belajar, waktu dan proses mengajar itu
sendiri dalam proses belajar yang pada akhirnya akan menghasilkan output
pendidikan dasar yang sesuai dengan harapan. Terlepas dari masalah yuridis,
terdapat dua pola pemikiran atau asumsi yang mendominasi kontraversi ini
Pertama, mutu pendidikan akan dapat ditingkatkan apabila ditangani secara
efisien. Kedua, pendidikan khususnya pada pendidikan dasar yang merupakan
kebutuhan dasar dari setiap warganegara, merupakan kewajiban pemerintah dalam
hal ini unit pemerintah yang paling dekat, untuk melaksanakannya. Kontraversi
yang timbul dewasa ini mengenai manajemen sekolah dasar bersumber dari dua
asumsi yang berasal dari dua pemikiran yang berbeda. Pertama menggunakan PP No.
28 Tahun 1990 sebagai pedoman dan berpegang kepada UU No. 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Kedua sudut pandang tersebut memang boleh
digunakan karena dilihat dari segi hukum keduanya sama-sama benar, hanya saja
menurut Suryosubroto permasalahan dalam manajemen pendidikan dasar disebabkan
karena:
a. Pendidikan
dasar merupakan hak asasi manusia Indonesia, sesuai dengan UUD-45 pasal 31 yang
menyatakan bahwa setiap warganegara berhak memperoleh pendidikan. Oleh sebab
itu, pelaksanaannya tidak dapat terhalang oleh peraturan perundangan yang
berada dibawahnya.
b. Masalah
manajemen pendidikan, khususnya pendidikan dasar, bukan hanya sekedar merupakan
masalah yuridis, tetapi lebih dari itu karena berkenaan dengan anak Indonesia yang
justru akan memperoleh pendidikannya yang sangat mendasar bagi kelangsungan
hidup bernegara.
c. Desentralisasi
atau sentralisasi pelaksanaan proses pendidikan, kedua cara pendekatan itu
perlu didudukkan dalam rangka usaha mencapai keberhasilan dari proses
pendidikan itu sendiri. Pendekatan desentralisasi maupun sentralisasi keduanya
mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Karena itu, dalam
implementasinya masih perlu dikaji lebih lanjut.
Dari beberapa
gambaran pendidikan dasar di atas maka perlu adanya inovasi di Sekolah Dasar.
Perubahan pada pendidikan dasar ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas dan
relevansi sistem pengajaran. Sehingga dapat mengahasilkan output pendidikan
dasar yang bermutu.
Masalah
pendidikan, khususnya pada pendidikan dasar memang tidak bisa lepas dari
masalah kebijakan pemerintah, karena menyangkut kebutuhan dasar rakyat.
Penanganan kebutuhan dasar memerlukan pendekatan yang sedekat-dekatnya dengan
rakyat. Partisipasi dari rakyat selama ini masih sangat kurang, sehingga
penyelenggaraan pendidikan dasar dirasakan sebagai kewajiban pemerintah bukan
sebagai kewajiban seluruh rakyat, jadi tidak mengherankan apabila
penyelenggaraan pendidikan dasar di seluruh dunia dikaitkan dengan masalah
otonomi daerah yang meliputi hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Sejalan dengan dikeluarkannya kebijakan tentang otonomi daerah di
kota dan kabupaten, selanjutnya pemerintah juga mengeluarkan kebijakan tentang
otonomi pendidikan di sekolah dengan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah,
melalui Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
pasal 51 butir 1 yaitu:
“Pengelolaan satuan pendidikan
anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan
standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau
madrasah.”
Manajemen
berbasis sekolah merupakan strategi untuk mewujudkan sekolah yang efektif dan
produktif. Sebagai paradigma baru manajemen pendidikan, MBS memberikan otonomi
luas pada sekolah, dan pelibatan masyarakat dalam kerangka kebijakan pendidikan
nasional. Otonomi tersebut diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber
daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai prioritas
kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.
MBS adalah suatu
inovasi dalam dunia pendidikan untuk memperbaiki mutu pendidikan, selain itu
MBS merupakan suatu ide tentang pengambilan keputusan pendidikan yang diletakkan
pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran, yakni sekolah. Pemberdayaan
sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar, di samping menunjukan sikap
tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat, juga merupakan sarana
peningkatan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Sedangkan menurut Danim
MBS merupakan suatu proses kerja komunitas sekolah dengan cara menerapkan
kaidah-kaidah otonomi, akuntabilitas, partisipasi, dan sustainabilitas untuk
mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara bermutu. Manajemen berbasis
sekolah menurut Nurkolis adalah suatu model pengelolaan sekolah dengan
memberikan kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah untuk mengelola
sekolahnya sendiri secara langsung. Dari beberapa pengertian di atas
menunjukkan bahwa dengan adanya MBS, sekolah mempunyai kewenangan untuk
mengurus segala sesuatunya sendiri, hal tersebut dikarenakan adanya pergeseran
kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sementara pemerintah
daerah menyerahkan pengelolaan sekolah langsung pada pihak sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar